Custom Search

Sejarah Suku Simalungun di Serdang

Oleh: Juandaha Raya P Dasuha MTh

Sabtu, 5 Desember 2015

Sumber: Sinar Indonesia Baru (SIB)

Pendahuluan
TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun (1982) menulis sekilas keberadaan suku Simalungun di daerah bekas Kesultanan Serdang (sekarang masuk Kabupaten Serdang Bedagai). Datuk-datuk penguasa pemerintahan tradisional di Serdang Hulu masih kerabat dekat dengan raja Dolog Silou bermarga Purba Tambak. Kampung-kampung di Kecamatan Dolok Masihol (Dolok Masihul) masih menyisakan nuansa kesimalungunannya sampai saat ini.

Sejak kapan dan bagaimana hingga daerah bekas kerajaan Simalungun di Serdang sekarang masuk ke wilayah Sultan Melayu Serdang? TBA Purba Tambak menjelaskannya dengan singkat bahwa itu bermula sejak kekuasaan Kerajaan Dolok Silou makin melemah, seiring dengan masuknya kekuasaan kolonialisme Belanda ke Sumatera Timur sejak 1871. Adanya persaingan dan pertikaian di antara keluarga-keluarga Raja Dolog Silou di daerah makin membuat pilar kekuasaan Raja Dolog Silou rontok satu demi satu. Pelemahan ini diperkuat lagi dengan masuknya agama Islam yang mengerus paham kesimalungunan penganutnya ke arah Melayunisasi, sehingga masuk Islam sama dengan masuk Melayu. Faktor ini berdampak dengan makin mudahnya penduduk  setempat (Simalungun)  mengakui kekuasaan Sultan Melayu seiring dengan Islamisasi di antara penduduk tempatan di Serdang Hulu. Kejadian ini diperparah lagi dengan pecahnya perang perluasan wilayah di antara raja-raja Simalungun dan penguasa Melayu sehingga merubah perbatasan masing-masing daerah kekuasaannya. Sebagian di antara kepala-kepala adat Simalungun yang bertikai dengan raja-raja Simalungun ada yang melepaskan dirinya dan mengaku bagian dari kesultanan Melayu Sumatera Timur. Berdirinya Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang dan Kerajaan Asahan serta Langkat merobah batas-batas daerah Simalungun, Karo dan Toba.

KERAJAAN SUKU SIMALUNGUN DI SERDANG
Merujuk pada keragaman asal usul penduduk Sumatera Timur saat ini, Sultan-sultan yang kemudian menjadi penguasa di Serdang dan Deli ternyata bukan penduduk asli Sumatera Timur. Leluhur penguasa Melayu yang kemudian menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dihuni penduduk asli Simalungun dan Karo di Sumatera Timur beruntung dengan agama Islam yang masuk seiring dengan penetrasi kekuasaan mereka ke Sumatera Timur. Penduduk Karo dan Simalungun yang masuk Islam lantas menanggalkan ‘identitasnya’ sebagai suku asli Sumatera Timur. Bergelombang proses itu menjelma menjadi munculnya penduduk Melayu berasal Karo dan Simalungun. Modal peralihan agama sekaligus etnis ini menguntungkan penguasa Melayu untuk makin memantapkan penguasaan wilayahnya di pedalaman Sumatera Timur.

Pemangku Adat Serdang Tengku Luckman Sinar dalam bukunya Sari Sejarah Serdang terus terang mengakui bahwa leluhur Sultan Deli dan Serdang (yang adalah seketurunan) turunan pendatang ke Sumatera Timur. Leluhur Sultan Deli diakui pendatang dari India bernama Muhammad Dalikhan yang diangkat Aceh menjadi panglima Aceh di bekas Kerajaan Haru. Ia kawin dengan Nangbaluan Surbakti adik Raja Sunggal sekitar tahun 1632. Pada tahun 1669 Panglima Perunggit anak dalikhan menyatakan diri merdeka dari Aceh dan menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka. Dengan demikian Kerajaan Deli berdiri di sekitar abad XVII. Sedangkan Kerajaan Serdang adalah pecahan dari Deli karena perebutan tahta pada tahun 1723, Tuanku Umar putera tertuaTuanku Panglima Paderap dirajakan Orang Besar Deli yaitu Raja Urung Sunggal marga Surbakti dan Raja Urung Senembah serta seorang Raja Urung Batak Timur bermarga Saragih Dasalak yang berkuasa di Tanjung Morawa. Dengan demikian Sultan Serdang pertama adalah pendatang juga ke Serdang yang mendirikan kerajaannya dengan bantuan orang Karo dan Simalungun pada abad XVIII (Sinar, 2008:49, 53-55). Sebelum  berdirinya Kesultanan Serdang, telah berdiri kerajaan dari orang Simalungun bernama kerajaan Padang dan Bedagai yang merupakan saudara kandung dari Kerajaan Raya. Pendiri Kerajaan Padang bernama Raja Umar Baginda Saleh (Poltakraja Saragih Garingging/Dasalak) masuk Islam pada tahun 1630 dan bersama dengan temannya bernama Peresah dari Nagur Raja, mereka menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Nagur dan mendirikan kerajaan Padang. Sedangkan daerah yang berbatasan dengan Tanah Karo yang dihuni orang Simalungun sejak zaman kerajaan Nagur dijadikan satu distrik tersendiri bernama Distrik Dusun Batak Timur Dusun dengan seorang Wakil Sultan Serdang setelah daerah itu dimasukkan ke Serdang sejak abad XVIII. Tanjung Morawa dan Kampong Baru juga adalah daerah yang dikuasai keturunan Raja Umar Baginda Saleh Saragih Dasalak. Puteranya Marah Jana Saragih mendirikan kampung Tanjung Morawa Senembah (Sinar, 2008-;89-90).

Sementara Batak Timur Dusun dibiarkan memerintah menurut adat istiadat Simalungun. Pada zaman kesultanan Serdang daerah Batak Timur Dusun terdiri dari:
a. Urung Simapang:
(1) Perbapaan (Sibayak) Negeri Simapang
(2) Perbapaan Tarean
(3) Damak Jambu (Sibayak)
(4) Perbapaan Marjandi
(5) Perbapaan Gunung Mariah
(6) Perbapaan Gunung Panribuan
(7) Perbapaan Bintang Mariah
(8) Perbapaan Pamah
(9) Perbapaan Silindak
b. Urung Kotarih
(1) Perbapaan (sibayak) Kotarih
(2) Perbapaan Siranggiting (sekarang Sarangginting)
(3) Perbapaan Sialtong (marga Purba Dasuha)
(4) Perbapaan Banjaran Godang (Anakboru Balei)
c. Urung Sini Purba
(1) Perbapaan Bah Perak
(2) Perbapaan Batugingging
(3) Perbapaan Bangun Kinalang
d. Urung Si Enam Kuta
(1) Perbapaan (Sibayak) Bagerpang
(2) Perbapaan Ujung Bulan

Yang menjadi wakil sultan Serdang untuk daerah Distrik Batak Timur Dusun putera Simalungun yang sudah beragama Islam  bernama Orang Kaya Tausa Purba Silangit yang berasal dari Silimahuta Simalungun (Sinar, 2008:89-90). Sedangkan daerah Sipispis dan Dolog Merawan yang dahulunya bernama Bajalinggei dijajah Serdang dan Deli yang mendapat penolakan dari penguasa Panei Jontama Purba (Purba, 1977:54).

Dari sejarah ini jelas bahwa suku Simalungun dan Karo adalah penduduk asli di Padang Bedagai, Serdang, Batubara (Tanjungkasau) dan sebagian Asahan. Penduduk Melayu datang kemudian setelah jatuhnya Malaka pada abad XVI dan kerajaan-kerajaan Melayu berdiri setelah masuknya pengaruh Aceh dengan mengangkat Dalikhan menjadi panglima Aceh pada abad XVII.

Penetrasi budaya dan agama Islam yang sangat kencang di antara orang Simalungun yang tinggal di dekat pantai menimbulkan munculnya proses Melayunisasi yang cepat dan intens. Banyak orang Simalungun yang setelah memeluk Islam menanggalkan kesimalungunannya dan mengaku dirinya Melayu. Sehingga suku Simalungun mengalami penciutan populasi yang parah. Menurut sejarah, orang Melayu Batubara, Tanjung Balai, Serdang terdiri dari orang-orang Simalungun yang sejak Kerajaan Nagur telah tinggal menetap di pesisir pantai Selat Malaka. Karena pengaruh Islam yang kuat dan budaya Melayu yang menyertai penyebaran Islam tersebut, orang Simalungun tersebut mengaku dirinya sebagai Melayu dan beradat Melayu. Sampai zaman Raja Sang Naualuh Damanik berkuasa di Kerajaan Siantar (1888-1904) jalinan kekeluargaan terus berlangsung di antara orang Simalungun di pedalaman dan orang Melayu bekas orang Simalungun tersebut, di antaranya melalui ikatan perkawinan. Putera-puteri raja-raja Simalungun banyak yang kawin dengan para penguasa Melayu Sumatera Timur yang sekaligus mengukuhkan klaim penguasa Melayu itu atas daerah-daerah Simalungun yang masuk wilayahnya.

Penutup
Dari sejarah ini di Serdang setidaknya Serdang Hulu, penduduk asli di situ bukanlah orang Melayu, namun orang Simalungun dan Karo. Tak pantas, bila masih ada ungkapan menyebut orang Simalungun dan Karo adalah penduduk pendatang di Serdang. Sejarah Kesultanan Serdang mengakui sebelum berdirinya Kesultanan Serdang, pemerintahan lokal Simalungun sudah berdiri di situ, jauh sebelum hadirnya penguasa Melayu di sana. Ini memberi petunjuk jelas, bahwa orang Simalungun di Serdang jangan menganggap dirinya pendatang. Serdang adalah daerah hunian penduduk asli Simalungun dan Karo yang pada masa lalu disebut Batak Timur.

Beranjak dari fakta ini, maka tak salah bila orang Simalungun di Serdang menanamkan semangat “siparutang do au bani Simalungun” juga, sebagaimana saudaranya di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Sedang, Padang Bedagai dan Batubara adalah kampung orang Simalungun juga. Sudah seyogyanya, setiap orang Simalungun di Serdang dan daerah-daerah di atas bersama-sama  membangun daerahnya dengan semangat berhutang tersebut. Dengan semangat ini, maka terbangunlah persaudaraan sesama Simalungun dan segala implikasi keetnisannya sebagai etnis Simalungun untuk lebih giat lagi membangun atas dasar Habonaron do Bona dan Sapangambei  Manoktok Hitei. Horasma banta. (c)

 

Sumber: http://hariansib.co/view/Lembaran-Budaya/89458/Sejarah-Suku-Simalungun-di-Serdang.html

 

———————————————————————————————————————————————————————————————